"Kamu juga berubah," kata Hera.
Larung mengangkat wajahnya. Heran.
"Aku? Aku sama sekali gak berubah. Bukannya kamu yang sekarang emang udah jadi orang sibuk?" bela Larung.
"Kamu sendiri? Kamu kira kamu gak sibuk? Hari ini gak bisa, hari itu gak bisa, hari ini ada rapat, besok ada latian. Jadi siapa yang sibuk?" Hera terlihat tak mau kalah.
"Waktu aku ada waktu, kamunya yang rapat, kumpulan, bimbel, kerja kelompok, de-el-el ala orang sibuk!" kata Larung lagi.
Hening. Cuaca berangin di siang itu tak membantu menyegarkan suasana kedua belah pihak yang berseteru tersebut.
"Oke. Aku emang orang sibuk. Puas?" kalimat terakhir Hera untuk Larung di siang hari itu menutup segala ketegangan antara mereka berdua. Lalu Hera bergegas pergi dari sisi Larung yang masih diam membisu memikirkan percakapan mereka beberapa saat lalu.
"Ra…!! Hera..!!!" panggil Larung kemudian. Namun terlambat, Hera keburu menghilang di balik gerbang sekolah. Larung, ia diam di taman sekolah. Kursi kayu dan pohon jabon menjadi teman bisunya.
Hari ini, 19 Mei, harusnya Larung memberi ucapan selamat ulang tahun pada Hera. Ke-17 tahun. Tapi, siang ini hancur berantakan gara-gara Larung salah ngomong, "Hera sekarang gak asik. Sibuk terus," niatnya sih bercandaan, tapi Hera menanggapi dengan serius perkataan Larung tadi. Pecah deh perang dunia ke-3.
Perasaan yang tak menentu melanda hati Hera. Dia kesal. Kecewa. Marah. Sedih. Berkecamuk menjadi satu. Galau.
Kecewa pada Larung yang sekarang tak punya sedikitpun waktu untuk bermain bersamanya seperti dulu. Sibuk dengan kegiatannya yang bejubel. Hera jenuh dengan suasana itu.
Dia berjalan dengan terburu-buru. Hampir saja setetes atau bahkan bertetes air mata jatuh di pipinya. Namun dia masih bisa menahannya.
"Waahh itu ada layangan lepas!! Kejar yookk…!!!" komando seorang bocah kecil dari arah lapangan bola di belakang halte bus tempat Hera kemudian duduk.
"Ayok cepetan ntar tambah jauh," sahut temannya yang lain. Mereka pun berlari mengejar layangan 'lewung' itu.
Hera terpaku. Layang-layang??
"Eh, kamu yang pegang layangannya. Biar aku pegang benangnya. Ya?" kata Larung kecil pada Hera kecil.
"Masa aku Cuma pegang layangan yang belum terbang. Curang," kata Hera.
"Gak papa, Ra. Ntar kalo udah terbang, kita pegang layangannya bareng-bareng. Ok?" bujuk Larung.
Hera luluh dan berjalan menghampiri layangan yang belum terbang. "Hoooyy Rung, segini bukan??" tanya Hera setengah menjerit pada Larung dari tengah pematang sawah.
"Naikin dikit Raa!!" perintah Larung, setengah menjerit juga. Hera menurut, ia sedikit menaikan posisi layangannya. "Gimana? Udah oke belom??" tanya Hera lagi.
"Ok. Bentar Ra, nunggu angiiinnn…" jerit Larung. Hera sabar memegang layangan itu. Menunggu komando lanjutan dari kompatriotnya.
"Raa..!! Lepas!!!" perintah Larung akhirnya. Hera melepas layangan itu. Larung yang memegang kemudi layang-layang pun berlari di sepanjang sawah yang kosong karena baru dipanen tersebut.
Ia terus berlari sampai layang-layangnya mendapat keseimbangan di atas langit biru nan cerah.
Hera tak tinggal diam. Dia ikut berlari di belakang Larung. Beberapa saat kemudian, layang-layang mereka tenang di atas keduanya.
"Rung, aku mau pegang dong," kata Hera pada Larung yang sedang fokus menarik-ulur benang kemudi.
"Hah?? Mmm…" Larung sedang sangat berkonsentrasi dengan benang dan layang-layangnya.
"Rung! Aku mau pegang juga!!" hardik Hera.
"Ohhh iyaa.. Nih.. Ini cepetan Ra ntar layangannya gak seimbang,"
Cepat-cepat Hera meraih benang dari tangan Larung dan gantian dia yang menarik-ulur benang tersebut. Larung hanya melihat ke arah layangan, memastikan layangannya tetap konstan di atas sana.
"Rung, bawa lari yok," kata Hera kemudian saat menyadari anginnya terlampau pelan untuk menerbangkan layang-layang mereka.
"Jangan, Ra. Ntar kan anginnya dateng lagi. Di tarik ulur aja kayak gini," kata Larung sambil memeragakannya pada Hera. "Iyaa dehh," Hera menurut. Namun beberapa saat kemudian, Hera berlari meninggalkan Larung, mengambil kendali penuh atas layang-layang segi-empat mereka.
"Heraaaa!!! Jangan dibawa lari, Raaaa!!!" teriak Larung sembari mengejar kawannya tersebut.
Yang diberi peringatan malah tertawa dan terus berlari sambil memegang benang layangannya. Semakin menjauh dari jangkauan Larung
'Gedebug!!' terdengar bunyi jatuh. Ternyata Hera tersandung pematang sawah. Ia jatuh dengan suksesnya.
"Aduuuuhhh… Ruuuungg kaki ku sakitt…" rengek Hera. Larung berlari mendekat.
"Kan… apa ku bilang. Jangan dibawa lari. Kamu sih ngeyel." Larung semakin mendekati Hera.
"Iya tapi ini sakiiittt…." kata Hera lagi. Hampir menangis. "Layangannya Ruuuung…" rengek Hera lagi, melihat layangan mereka terbang menjauh. Layangan mereka putus dan sudah terbang mengikuti angin.
"Hhee~h.. Udah gak papa layangannya putus. Kaki mu? Kamu bisa jalan gak? Berdiri yok," kata Larung, membantu Hera berdiri.
"Aduuduuuuhh.." Hera mencoba berdiri dan hampir terjatuh kalau saja tidak ada Larung yang menopangnya.
"Kuat jalan gak?" kata Larung lagi. Hera menjawab dengan anggukan pelan.
Mereka berdua berjalan melewati sawah-sawah kering itu dengan Hera yang terpincang-pincang. Sesekali ia mengaduh sakit karena areal sawah yang tidak rata membuat perjalanan dengan kaki terkilirnya menjadi sebuahperjalanan yang cukup menyiksa.
"Sakit bangeeeeet.. Hiks.. Hiks.." kali ini Hera benar-benar menangis. Larung berhenti. Yang ditopang juga berhenti. Sejurus kemudian Larung berjongkok di depan Hera.
"Cepet naik," katanya singkat. Tanpa banyak bicara Hera naik ke atas punggung Larung. Di gendong juga akhirnya.
Sepanjang perjalanan sampai rumahnya, Hera menangis tersedu-sedu di belakang punggung sahabatnya.
"Udah jangan nangis. Ntar minta pijit sama mbah Mi'un" kata Larung mencoba menenangkan Hera.
Sementara Larung…...
"Rung!! Tolong bolanya dong," teriak seseorang dari balik pagar di pinggir lapangan futsal.
Ada bola yang menggelinding tepat ke arahnya. Larung bangkit dan meraih bola tersebut, kemudian melemparnya ke arah teman yang memanggil tadi.
"Thanks, Rung," kata temannya.
"Yooi," sahut Larung. "Hmm.. Bola.." helanya kemudian.
"Heraaa.. Heraa.. Maen yok," ajak Larung kecil. Sudah lengkap dengan sepatu bola dan si kulit bundar juga sudah ada di tangannya. Dia berdiri di depan pagar rumah Hera.
Si kecil Hera berambut sebahu keluar dari balik pintu rumahnya. Di belakangnya, tampak ibu Hera menyusul.
"Larung, hati-hati yaa maennya.. Jagain Hera," pesan ibu Hera.
"Iya, Bude," jawab Larung diikuti senyumnya.
"Ayo, Rung!"
Sesampai di sawah kering-pasca-panen itu, mereka disambut oleh teman-temannya yang lain. Ada sekitar duabelas anak yang sudah menunggu Larung dan Hera.
"Lama banget." kata anak laki-laki berkaos merah.
"Tadi Larung nungguin aku dulu, Ndra. Makanya lama," jawab Hera.
"Yaudah langsung maen aja yok," ajak Indra.
Anak-anak laki-laki segera ambil posisi di masing-masing kubu. Larung masuk ke kubu Merah, sedangkan rivalnya adalah kubu Biru.
Mereka bermain sepak bola ala anak desa. Hanya satu tujuan; memasukkan bola ke gawang lawan. Mereka belum tau aturan-aturan dalam sepakbola. Yang mereka tau, mereka hanya ingin bersenang-senang.
Hera melihat pertandingan itu dari bawah pohon kelapa di sekeliling sawah bersama teman-teman perempuan yang lainnya. Di antara mereka ada yang bermain masak-masakkan. Namun Hera lebih memilih diam menyaksikan pertandingan antara grup Merah versus grup Biru.
Pertandingan sore itu berakhir dengan skor 3-2 untuk grup Biru. Larung kalah. Kubunya kalah hari ini. Namun mereka semua tetap gembira.
"Ayo, Ra, pulang. Mendung nih," ajak Larung.
"Hah?! Masa pulang? Aku gak main apa-apa masaknyaaa.." kata Hera.
"Lhaa dari tadi kamu ngapain??"
"Nonton bola," jawab Hera
" Ya masak kamu mau maen bola? Kamu kan cewek," kata Larung, duduk di samping Hera.
"Emang gak boleh ya, Rung?" tanya Hera. Polos.
"Hehehe.. Boleh sih, tapi kamu nanti cewek sendiri. Jadi nonton aja," jawab Larung. Apa adanya.
"Tuh, kan! Gak adil!!"
"Mmm.. Yaudah yok maen bola sama aku," Larung bangkit dan menggelindingkan bola ke kakinya, mulai memainkannya. Hera diam.
"Nah kan malah diem," kata Larung lagi. Kakinya diam memainkan bola. "Yok!!" lalu Larung menarik tangan Hera dan menyeretnya ke tengah sawah.
Se-sisa sore itu mereka habiskan untuk sekedar menendang bola dan berebut memasukannya ke satu gawang saja. Hera begitu gembira menikmati permainan duo-bola-nya bersama Larung.
'Zreeeessss….' tiba-tiba hujan mengguyur sawah kering itu. Membasahi kedua anak polos tadi. Membasahi bola kaki mereka.
"Wahhh hujan, Ra. Ayo pulang," Larung menarik tangan Hera. Yang ditarik malah diam. Wajah mungilnya ia hadapkan ke atas dan matanya terpejam. Menikmati guyuran air Sang Kuasa. Membatu dan tak mau ditarik Larung.
"Ra?!" kata Larung lagi, lalu menghadap ke Hera. Dia melihat wajah Hera yang damai menikmati tiap tetes air dari langit itu.
"Aku mau ujan-ujan-an. Mau ikut?" kata Hera. Lembut.
"Ujan-ujan-an? Ra, ntar kamu sakit. Aku yang dimarah ibu kamu," jawab Larung. Tak setuju.
"Yang dimarah siapa?"
"Aku," jawab Larung singkat.
"Yaudah. Kan bukan aku.." jawab Hera. Terkekeh dan lari meninggalkan Larung. Membawa serta bola kaki milik Larung.
"Heraaaaa!!!!" Larung mengejar Hera."Awas kamu!!"
Akhirnya sore itu benar-benar mereka habiskan berdua bermain sepakbola, berlari-lari, berkejaran dengan riang tawa. Hujan sore itu mendadak begitu indah melagukan kebahagiaan kedua bocah yang berteman dekat tersebut.
Di kepala Hera melayang-layang kenangannya bersama sahabat terdekatnya, orang yang selalu menjaganya, lelaki yang disayanginya setelah ayahnya; Larung.
Dari kecil sampai mereka SMP, mereka selalu bermain bersama. Hampir semua kegiatan mereka lakukan berdua. Maklum saja, Larung dan Hera adalah anak tunggal dan rumah mereka berdekatan, keakraban pun tak dapat dihindari.
Kini saat mereka sudah SMA, kegiatan mereka berbeda. Disesuaikan dengan bidang dan hobi masing-masing. Hera yang aktif di OSIS sekolah dan Larung aktif di ekskul futsal-nya. Keduanya disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Hampir tak ada waktu bersama. Hari Minggu saat seharusnya kedua remaja itu punya waktu luang, Larung masih saja latian.
Tetes demi tetes air jatuh dari pelupuk mata indahnya. Sudah tidak bisa ditahan rupanya. Dia ingin menghentikan aliran air bening itu namun sangat sulit, yang ada dadanya semakin sesak dan air itu tetap tak mau berhenti. Kali ini matanya tak mau menurut pada perintah dari otak Hera. Dia berpihak pada perasaannya yang sedang berkecamuk.
Larung berjalan gontai menuju parkiran sekolah. Matahari tak terlihat, tertutup awan mendung. Sore ini sepertinya akan hujan.
"Rung, mau pulang ya?" salah satu teman Larung menyapanya. Diana.
"Iya," jawabnya malas-malasan.
"Nebeng dong. Kan rumahmu ngelewatin rumahku," kata Diana lagi.
Larung diam sebentar, lalu menjawab," Yaudah,"
Cewek bermata indah itu menutup mukanya dengan kedua tangannya. Bukan, ia bukan ingin menutup mukanya, tapi kedua bola matanya. Air matanya tak terbendung. Ia sesenggukan di halte itu. Sendirian. Tidak, dia tidak sendirian, hujan datang menemaninya.
Hera benar-benar kalah hari ini. Dia kalah pada perasaan dan air matanya. Tak pernah ia menangis sampai sesenggukan seperti ini sebelumnya.
Suara tawa dan canda antara dia dan Larung menggema di pikirannya. Dia masih ingat saat mereka berdua bermain hujan-hujan-an, saat dia berlindung di belakang punggung Larung saat petir bergemuruh di tengah sawah itu, saat mereka bermain bola, saat mereka bermain layang-layang sampai kakinya keseleo, saat bermain 'go back shoot door' alias gobak sodor bersama teman-teman mereka lainnya, saat dimarah kedua orangtua mereka karena pulang main sampai bedug magribh berkumandang, saat bersepeda bersama setiap hari Minggu pagi, terlalu banyak kenangan bersama Larung yang melintas liar di pikirannya.
Dan sekarang, di hari istimewanya, dia harus kecewa gara-gara Larung yang memvonisnya sibuk dan gak asik. Bayangannya mendapat ucapan paling spesial dari orang spesialnya sirna, sekarang. Hera masih terus menangis.
"Wah hujan, Rung," kata Diana di belakang punggung Larung, sedikit keras.
"Mau neduh?" tanya Larung.
"Apa? Aku gak denger," kata Diana lagi.
"Kamu mau neduh gak?" kata Larung mengeraskan volume suaranya.
"Larung ni apa-apaan sih. Harusnya langsung neduh aja, gak harus tanya dulu kan? Hih…" batin Diana.
Tak lama kemudian, motor Larung menepi di depan sebuah warung.
"Nunggu hujan agak mendingan ya," kata Larung pada Diana. Diana mengangguk.
Larung duduk di kursi bambu yang ada di depan warung tersebut, helm di kepalanya tak ia lepaskan.
Diana diam duduk di samping Larung. Dia tahu, Larung sedang dalam mode-gak-asik-diajak-ngobrol.
Pikiran Larung, tidak jauh beda dengan Hera yang duduk 25 meter di sebelah kanannya. Memorinya memutar ulang semua kenangan bersama sahabat tercintanya itu. Semua. Saat mereka belajar bermain egrang, saat mereka berdua mencari ikan di sungai dekat rumah sampai-sampai kena marah kedua ibu mereka karena pulang dalam keadaan basah kuyup, saat mereka membuat kincir angin mini dari bekas botol minuman mineral dan menerbangkannya di pematang sawah yang hijau ranum, saat Larung memanjat pohon kelapa untuknya dan Hera,saat mereka bolos bimbel dan malah pergi ke rumah salah satu temannya, saat layang-layang mereka terputus karena ulah usil Hera….
"Hhe~h.." Larung menghela nafas panjang. Diana menatapnya.
"Kamu kenapa, Rung? Lagi ada masalah?" tanya Diana. Takut-takut.
"Gak papa, Di." jawab Larung sekenanya. Namun dari jawaban itu Diana tau, Larung itu tidak 'gak papa' malahan 'ada apa-apa'. Cukup satu pertanyaan yang dilontarkan Diana. Ia tak mau lagi mengusik Larung.
Hujan siang itu terlalu lama. Hari bahkan telah beranjak sore. Bus yang dinanti Hera tak kunjung datang. Sementara air matanya mulai mengering, meninggalkan bengkak yang cukup besar di bawah matanya.
Dia diam menatap hujan. Jalanan sepi.
"Loh, itu kan Hera? Kasian banget sendirian," celetuk Diana, ujung matanya melirik Larung. Berharap ada respon positif dari temannya itu.
Larung mengangkat mukanya dan buru-buru menyahut, "Mana?"
"Itu. Di halte tuh," tunjuk Diana.
Larung melihat ke arah telunjuk Diana. Benar saja. Di sana ada Hera, sendirian. Ia melihat Hera yang menatap kosong pada jatunya air tak kunjung reda itu. Melamun.
"Kamu gak ke sana, Rung? Biasanya kalian kan…"
"Enggak," jawab Larung cepat. Matanya ia alihkan pada objek lain. Tapi Diana tau, sudut mata Larung mencuri pandang ke arah Hera.
"Jangan gitu. Dia sahabat kamu, kan? Eh, bukan. Dia… orang yang kamu sayang, kan?" kata Diana. Kali ini memberanikan diri.
Larung menatap kosong jalanan sepi itu. Kata-kata Diana menelisik sudut pikirnya. Bukan! Menelisik seluruh pikirannya, menerobos masuk laksana banjir menggenangi areal persawahan, penuh mengisi.
"Jadi, jangan bersikap kayak gini. Cuma bikin kamu tersiksa. Bahkan bukan Cuma kamu yang tersiksa, Hera pasti juga tersiksa. Sampe-sampe dia ngelamun gitu," kata Diana lagi. Larung masih diam. Mencerna kata-kata sederhana dari teman sekelasnya itu.
"Hari ini hari istimewa Hera. Kamu harus kasih ucapan buat dia.. Ayo, Rung,"
Sejurus kemudian dia bangkit, melepas helm-nya dan menitipkan pada Diana.
"Makasih, Di. Aku ke sana dulu," jawab Larung mantap. Diana mengangguk dan tersenyum. Tak lupa dia mengucap, "Good luck!" dengan pelan.
Larung berlari di tengah hujan. Ia menghampiri halte tempat Hera berada. Suara sepatunya berkecipak-kecipuk di genangan air. Namun masih kalah dengan hujan yang melagukan nyanyian alam.
"Hera," panggil Larung, tergopoh-gopoh saat sampai di tempat Hera duduk.
Yang dipanggil menoleh ke arah suara. "Larung," kata Hera, heran.
"Maafin aku, Ra. Aku yang salah sampe kita kayak gini," kata Larung lagi. To the point.
"Larung…" lirih Hera. Dia bangkit. Air matanya jatuh lagi, namun tak sederas sebelumnya.
"Maaf ya, Ra. Aku salah," kata Larung sepenuh hati.
Hera tak mampu mengeluarkan suara apa pun. Tenggorokannya tercekat. Yang berbicara hanya kedua bola mata indahnya, menatap lurus ke arah kornea mata Larung.
"Maaf. Ra?" kata Larung lagi. Hampir putus asa karena dari tadi Hera tak memberi tanggapan maaf darinya. "Gak bisa ya? Mungkin kesalahanku emang terlalu besar. Aku yang egois gak mikirin Hera." kata Larung. Kali ini benar-benar putus asa. Larung berbalik dan berjalan menuju tempat motornya saat Hera memegang lengan Larung.
"Aku juga salah," kata Hera sesenggukan di bawah hujan. "Maaf," katanya lagi. Tangannya tak lepas dari lengan Larung. Tetes air kembali mengalir di pipinya. Lirih tangisnya bersandingan dengan senandung hujan.
Larung berbalik menghadap Hera. Lalu dia tersenyum pada perempuan yang disayangnya tersebut.
"Aku rasa kita Cuma butuh saling pengertian aja. Aku gak mau berantem lagi sama kamu kayak kemaren," kata Larung sambil tersenyum. Hera juga tersenyum, air matanya mendadak mengering. Yang tersisa hanya air langit yang membasahi keduanya.
"Iya. Kita sama-sama egois sih kemaren itu," tambah Hera, diikuti tawa dari keduanya. Canggungnya hilang sama sekali. Berbeda 1800 dari ketegangan yang terjadi sekitar satu setengah jam yang lalu.
"Oh iya, Hera, selamat ulang tahun," kata Larung tersenyum. "Make a wish sendiri ya, hehe,"
"Hii..kok make a wish sendiri? Terus kamu gak ngedoain gitu?" protes Hera.
"Doaku buat kamu, ntar aku sampein langsung ke Allah pas sholat aja ya," keduanya pun tertawa.
Sekali lagi, hujan menjadi saksi kebahagiaan mereka. Menjadi backsound alam yang sekali lagi juga melagukan perasaan keduanya. Ulang tahun paling berkesan, kado paling Hera suka; Larung. Sore yang indah. Hujan yang setia.Tak pernah beringkar janji.
18 meter di sebelah kiri kedua remaja SMA yang sedang menikmati hujan 'mereka kembali', Diana tersenyum melihat kedua sahabatnya berbaikan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar